Sejarah Karate
Sejarah
karate sampai saat ini tidak begitu jelas, sehingga untuk mengetahuinya
sedikit banyak harus mempercayai dari cerita dan legenda.Menurut
sejarah sebelum menjadi bagian dari Jepang, Okinawa adalah suatu wilayah
berbentuk kerajaan yang bebas merdeka. Pada waktu itu Okinawa
mengadakan hubungan dagang dengan pulau-pulau tetangga. Salah satu pulau
tetangga yang menjalin hubungan kuat adalah Cina. Hasilnya Okinawa
mendapatkan pengaruh yang kuat akan budaya Cina.
Sebagai
pengaruh pertukaran budaya itu banyak orang-orang Cina dengan latar
belakang yang bermacam-macam datang ke Okinawa mengajarkan bela dirinya
pada orang-orang setempat. Yang di kemudian hari menginspirasi nama kata
seperti Jion yang mengambil nama dari biksu Budha. Sebaliknya
orang-orang Okinawa juga banyak yang pergi ke Cina lalu kembali ke
Okinawa dan mengajarkan ilmu yang sudah diperoleh di Cina.
Pada
tahun 1477 Raja Soshin di Okinawa memberlakukan larangan pemilikan
senjata bagi golongan pendekar. Tahun 1609 Kelompok Samurai Satsuma
dibawah pimpinan Shimazu Iehisa masuk ke Okinawa dan tetap meneruskan
larangan ini. Bahkan mereka juga menghukum orang-orang yang melanggar
larangan ini. Sebagai tindak lanjut atas peraturan ini orang-orang
Okinawa berlatih Okinawa-te (begitu mereka menyebutnya) dan Ryukyu
Kobudo (seni senjata) secara sembunyi-sembunyi. Latihan selalu dilakukan
pada malam hari untuk menghindari intaian. Tiga aliranpun muncul
masing-masing memiliki ciri khas yang namanya sesuai dengan arah
asalnya, yaitu : Shurite , Nahate dan Tomarite.
Namun
demikian pada akhirnya Okinawate mulai diajarkan ke sekolah-sekolah
dengan Anko Itosu (juga mengajari Funakoshi) sebagai instruktur pertama.
Dan tidak lama setelah itu Okinawa menjadi bagian dari Jepang, membuka
jalan bagi karate masuk ke Jepang. Gichin Funakoshi ditunjuk mengadakan
demonstrasi karate di luar Okinawa bagi orang-orang Jepang.
Gichin
Funakoshi sebagai Bapak Karate Moderen dilahirkan di Shuri, Okinawa,
pada tahun 1868, Funakoshi belajar karate pada Azato dan Itosu. Setelah
berlatih begitu lama, pada tahun 1916 (ada yang pula yang mengatakan
1917) Funakoshi diundang ke Jepang untuk mengadakan demonstrasi di
Butokukai yang merupakan pusat dari seluruh bela diri Jepang saat
itu.Selanjutnya pada tahun 1921, putra mahkota yang kelak akan menjadi
kaisar Jepang datang ke Okinawa dan meminta Funakoshi untuk demonstrasi.
Bagi Funakoshi undangan ini sangat besar artinya karena demonstrasi itu
dilakukan di arena istana. Setelah demonstrasi kedua ini Funakoshi
seterusnya tinggal di Jepang.
Selama
di Jepang pula Funakoshi banyak menulis buku-bukunya yang terkenal
hingga sekarang. Seperti "Ryukyu Kempo : Karate" dan "Karate-do Kyohan".
Dan sejak saat itu klub-klub karate terus bermunculan baik di sekolah
dan universitas.
Gichin
Funakoshi selain ahli karate juga pandai dalam sastra dan kaligrafi.
Nama Shotokan diperolehnya sejak kegemarannya mendaki gunung Torao (yang
dalam kenyataannya berarti ekor harimau). Dimana dari sana terdapat
banyak pohon cemara ditiup angin yang bergerak seolah gelombang yang
memecah dipantai. Terinspirasi oleh hal itu Funakoshi menulis sebuah
nama "Shoto" sebuah nama yang berarti kumpulan cemara yang bergerak
seolah gelombang, dan "Kan" yang berarti ruang atau balai utama tempat
muridnya-muridnya berlatih.
Simbol
harimau yang digunakan karate Shotokan yang dilukis oleh Hoan Kosugi
(salah satu murid pertama Funakoshi), mengarah kepada filosofi
tradisional Cina yang mempunyai makna bahwa ’’harimau tidak pernah
tidur’’. Digunakan dalam karate Shotokan karena bermakna kewaspadaan
dari harimau yang sedang terjaga dan juga ketenangan dari pikiran yang
damai yang dirasakan Gichin Funakoshi ketika sedang mendengarkan suara
gelombang pohon cemara dari atas Gunung Torao.
Sekalipun
Funakoshi tidak pernah memberi nama pada aliran karatenya,
murid-muridnya mengambil nama itu untuk dojo yang didirikannya di Tokyo
tahun sekitar tahun 1936 sebagai penghormatan pada sang guru.
Selanjutnya pada tahun 1949 Japan Karate Association (JKA) berdiri
dengan Gichin Funakoshi sebagai instruktur kepalanya.
Shotokan
adalah karate yang mempunyai ciri khas beragam teknik lompatan (lihat
Enpi, Kanku Dai, Kanku Sho dan Unsu), gerakan yang ringan dan cepat.
Membutuhkan ketepatan waktu dan tenaga untuk melancarkan suatu teknik.
Gichin
Funakoshi percaya bahwa akan membutuhkan waktu seumur hidup untuk
menguasai manfaat dari kata. Dia memilih kata yang yang terbaik untuk
penekanan fisik dan bela diri. Yang mana mempertegas keyakinannya bahwa
karate adalah sebuah seni daripada olah raga. Baginya kata adalah
karate. Funakoshi meninggal pada tanggal 26 April 1957.
Karate d indonesia
Di
tahun 1964, kembalilah ke tanah air salah seorang mahasiswa Indonesia
yang telah menyelesaikan kuliahnya bernama Baud A.D. Adikusumo. Ia
adalah seorang karateka yang mendapatkan sabuk hitam dari M. Nakayama,
JKA. Ia mulai mengajarkan karate. Pada Tahun 1967 beliau berkumpul
dengan dua mahasiswa Indonesia yang juga telah menyelesaikan kuliah dari
Jepang yakni Sabeth Mukhsin dan Anton Lesiangi. Pada tahun 1970, Sabeth
Mukhsin beserta dengan Baud A.D. Adikusumo dan Anton Lesiangi
Mendirikan PORKI (Persatuan Olah Raga Karate Indonesia) yang kemudian
berganti nama menjadi FORKI (Federasi Olahraga Karate Indonesia). Pada
waktu itu Sabeth Mukhsin telah mendapatkan tingkatan DAN 3 dari JKA
(Japan Karate Association) yang merupakan DAN tertinggi di Indonesia
pada waktu itu, Anton Lesiangi (DAN 1 JKA) dan Baud A.D. Adikusumo (DAN 1
JKA)
Sabeth
Mukhsin, Anton Lesiangi beserta Baud A.D.Adikusumo akhirnya mendirikan
Lembaga Pendidikan Karate yg disebut INKAI (Institut Karate-Do
Indonesia)pada tahun 1971 yang dikenal sebagai Perguruan (Lembaga
Pendidikan) pertama di Indonesia.
Beberapa
tahun kemudian Baud A.D. Adikusumo mendirikan Institut Karate Do
(INKADO) dan Anton Lesiangi mendirikan Perguruan Lemkari (Lembaga
Karate-Do Indonesia), yang pada dekade 2005 karena urusan internal
banyak anggota Lemkari yang keluar dan dipecat yang kemudian mendirikan
INKANAS (Institut Karate-do Nasional) yang merupakan peleburan dari
perguruan MKC (Medan Karate club).
Dari
situlah berkembang apa yg disebut Aliran Karate lain yaitu Wado dibawah
asuhan Wado-ryu Karate-Do Indonesia (WADOKAI) yang didirikan oleh C.A.
Taman dan Kushin-ryu Matsuzaki Karate-Do Indonesia (KKI) yang didirikan
oleh Matsuzaki Horyu. Selain itu juga dikenal Setyo Haryono dan beberapa
tokoh lainnya membawa aliran Goju-ryu. Nardi T. Nirwanto dengan
beberapa tokoh lainnya membawa aliran Kyokushin. Aliran Shito-ryu juga
tumbuh di Indonesia dibawah perguruan GABDIKA Shitoryu (dengan tokohnya
Dr. Markus Basuki) dan SHINDOKA (dengan tokohnya Bert Lengkong). Selain
aliran-aliran yang bersumber dari Jepang diatas, ada juga beberapa
aliran Karate di Indonesia yang dikembangkan oleh putra-putra bangsa
Indonesia sendiri, sehingga menjadi independen dan tidak terikat dengan
aturan dari Hombu Dojo (Dojo Pusat) di negeri Jepang.
Pada
tahun 1972, 25 perguruan Karate di Indonesia, baik yang berasal dari
Jepang maupun yang dikembangkan di Indonesia sendiri (independen),
setuju untuk bergabung dengan FORKI (Federasi Olahraga Karate-Do
Indonesia), yang sekarang menjadi perwakilan WKF (World Karate
Federation) untuk Indonesia. Dibawah bimbingan FORKI, para Karateka
Indonesia dapat berlaga di forum Internasional terutama yang disponsori
oleh KONI.
Pada
Tahun 1985 terjadi kericuhan di badan organisasi FORKI, dan muncullah
induk organisasi cabang olahraga Karate yang baru yang disebut PKSI
(Persatuan Karate Seluruh Indonesia) yang memakai sistem organisasi
Cabang Olahraga yang memiliki kurikulum baku tanpa menganut Aliran
Karate.
Pada tahun 2000, PKSI pun berganti nama menjadi FKTI (Federasi Karate Tradisional Indonesia)
Sampai
saat ini di Indonesia ada 2 Induk Organisasi Cabang Olahraga Karate,
yakni FORKI (yang menganut Cabang Olahraga Karate Aliran) dan FKTI (yang
menganut Cabang Olahraga Karate tanpa Aliran).
Sumber : http://www.fokushotokan.com/sejarah.htm
0 komentar:
Posting Komentar